Unknown
FILSAFA PENDIDIKAN MATERIALISME

1. Latar Belakang Pemikiran
Matenalisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual, atau supernatural. Demokritos (460-360 SM), merupakan pelopor pandangan materialisme klasik, yang disebut juga “atomisme “. Demokritos beserta para pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kedil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom). Atom- atom merupakan bagian dan yang begitu kecil sehingga mata kita tidak thpat melihatnya. Atom-atom itu bergerak, sehingga dengan demikian membentuk realitas path pancaindera kita.
Karakteristik umum materiajisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan path sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang (Randall, et. al, 1942). Asumsi tersebut menunju.kkan bahwa
1) Semua sains seperti biologi., kimia, psikologi, fisika, sosiologi, ekonomi, dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat). Jadi, semua sains merupakan cabang dan sains mekaniká;
2) Apa yang dikatakan “jiwa” (mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memaharni) adalah menipakan suatu gerakan yang kompleks dan otak, sistern urat saraf, atau organ-organ jasmani yang lainnya;
3) Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, rnakna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan, hanyalah sekedar narna-nama atau semboyan, simbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda. Jadi, semua fenomena, baik fenomena sosial maupun fenomena psikologis adalah merupakan ‘bentuk-bentuk tersembunyi dan realitas fisik. Hubungan-hubungannya dapat berubah secara kausal.
Ludwig Feuerbach (1804-1872) mencanangkan suatu metafisika materiaiistis, suatu ketika yang humanistis, dan suatu episternologi yang menjungjung tinggi pengenalan inderawi. Oleh karena itu, ia ingn. mengganti idealisme Hegel (guru Feuerbach) dengan matenalisme. Jadi, menurut Feuerbach, yang ada hanyalah materi. Tidak mengenal alam spritual. Keprcayaan kepada Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dan kegagalam atau ketidakpuasan manusia untu mencapar cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia mernikirkan suatu wujud di luar dirinya yang dikhayalkannya memiliki kesempurnaan, yang merupakan sumber kebahagiaan manusia, suatu wujud yang bahagia secara absolut. Oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan nianusia. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri, secara maya, padahal wujud tidak ada.
Cabang matenialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan sebagai landasan berpikir adalah “Positivisme”. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah junilahnya. Jumlah itu dapat diukur. Oleh kareria itu, segala yang ada dapat diamati dari diukur. Sebaliknya segala yang tidak dapat diamati dan atau diukur secara ilmiah berarti tidak dapat dipelajari secara positif.
August Comte sebagai pélopor positivisme berpandangan bahwa, “The highest form of knowledge is simple description presumably of ‘sensory phenomena”. (Runes, 1963 : 234). Comte membatasi pengetahuan pada bidang gejala-gejala saja (fenomena). Pandangan di atas berdasarkan atas hukum evolusi sejarah berpikir manusia. Menurut Comte, terdapat tiga perkembangan berpikir yang dialami manuisa yaitu : 1) tingkatan teologis, 2) tingkatan metafisilç dan 3) tingkatan positif. Pada tingkatan teologis, pola berpikir manusia dikuasai oleh tahayu1 dan prasangka. Kepercayaan atas kekuatan gaib di luar rnanusia sangat mendasan- cara berpikir manusia. Path tingkat kedua, pola berpikin manusia telah meninggalkan teologis, nainun masih berpikir abstrak; masih mempersoalkan hakikat dati segala yang ada, termasuk hakikat yang gaib juga. Path tingkatan ketiga, yaitu tingkatan berpikir yang mendasarkan path sains, di mana pandangan dogmatis dan spekulatif metafisik diganti oleh pengetahuari faktual. Path periode ini manusia membatasi dan mendasarkan pengetahuannya pada yang thpat dilihat, tapat diukun, dan dapat dibuktikan (verifiable).
Zaman positif (Harun Hadiwijono, 1980) adalah zaman di mama orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologi maupun pengenalan metafisik. Ia tidak lagi melacak awal dan tujuan akbir dari seluruh alam semesta, atau melacak hakikat yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan aturan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenai atau yang disajikan kepadanya, yaitu dengan menganiati semua fakta-fakta yang positif yang menampakkan pada pancaindera dan menggunakan akalnya.
Jadi, dikatakan posotivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, berdasarkan data-data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Apa yang kita ketahui itu hanyalah yang tampak saja. Di luar itu manusia tidak perlu mengetahuinya. Positivisme membatasi studinya hanya pada bidang gejala-gejala.
Prosedur sains tidak memberi peluang untuk tidak menguji teori-teori secara langsung dalam pengalaman. Sain harus diyakini baik untu mencapai generalisasi deskripiif maupun memperoleh penjelasan-penjelasan yang dapat diverifikasi secara langsung. Menurut Randall (1942), penganut positivisme tampaknya bingung dalam menjelaskan hipotesis sebagai fungsi sains, dan hanya menekankan pada pencatatan, kiasifikasi, dan deskripsi. Pengkajian secara ilmiah harus diterapkan kepada seluruh aspek kehidupan. Dengan kata lain, seluruh aspek kehidupan dapat dikaji secara ilmiah, baik yang menyangkut kemasyarakatan, politik’dan moral.
Selanjutnya, dapat kita simak pandangan Tohnias Hobbes, sebagai pengikut empirisme materialislis. Ia berpendapat bahwa pengalaman merupakan awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan dikukuhkan oleh pengalaman. Hanya pengalamanlah yang memberikan kepastian. Pengetahuan melalui akal hanya memiliki fungsi mekanis semata, sebab pengenalan dengan akal mewujudkan suatu proses penjumlahan dan pengurangan (Harun Hadiwijono, 1980).

2. Pendidikan
Matenalisme maupun positivisme, pada dasarnya tidak menyusun konsep pendidikan secara eksplisit. Rahkan menurut Henderson (1959), materialisme belum pemahaman menjadi pentir dalam menentukan sumber teori pendidikan. Menurut Waini Rasyidin (1992), filsafat positivisme sebagai cabang dari materalisme lebih cenderung menganalisis hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi upaya dan hasil pendidikan secara faktual. Memilih aliran positivisme berarti menolak filsafat pendidkan dan mengutamakan sains pendidikan. Sains pendidikan sangat berguna dalam penelitian-penelitan ilmiah, yang berupaya memeriksa (memverifikasi) berbagai hipotesis hubungan antarfaktor (antarvariabel). Sains pendidikan yang dipergunakan dalam mempelajari pendidikan, khususnya proses belajar mengajar, ialah berdasarkan pada hasil temuan dan kajian ilmiah dalam psikologi, yaitu psikologi aliran “behaviorisme”.
Menurut behaviorisme, apa yang disebut dengan kegiatan mental kenyataannya tergantung pada kegiatan fisik, yang menipakan berbagai kombinasi dan materi dalam gerak. Gerakan fisik yang terjadi dalam otak, kita sebut berpikir, dihasilkan oleh peristiwa lain dalam dunia materi, baik materi yang berada dalam tubuh manusia maupun materi yang berada di luar tubuh manusia. Behaviorisme yang berakar pada positivisme dan materialisme telah populer dalam menyusun teori pendidikan terutarna dalam teori belajar, yaitu apa yang disebut dengan “conditioning theory”, yang dikembangkan oleh EL. Thorndike dan B.F. Skinmer.
Pendidikan, dalam hal ini proses belajar, merupakan proses kondisionisasi lingkungan, misalnya dengan mengadakan percobaan terhadap anak yang tidak pernah takut pada kucing, akhirnya ia menjadi takut kepada kucng. Percobaan bisa dilakukan dengan membunyikan suara keras (misalnya bunyi gong, bunyi-bunyian yang keras mengagetkan anak, atau dengan jalan menakut-nakutinya) setiap kali anak memegang atau mendekati kucing kesayangannya. Dengan percobaan ini, pengikut behaviorisme ingin menunjukkan bahwa manusia dapat dibentuk (men are built, not boni).
Menurut behaviorisme, perilaku manusia adalah hasil pembentukan melalui kondisi lingkungan (seperti contoh anak dan kucing di atas). Yang dimaksud dengan perilaku adalah hal-hal yang berubah, dapat diamati, dan dapat diukur (Materialisme dan posi tivisme). Hal ini mengandung implikasi bahwa proses pendidkan (proses belajar) menekankan pentingnya keteranipilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains, serta perilaku sosial sebagai hasil belajar.
Sebagai aliran yang dilandasi positivisme dan matebehaviorisme mengabaikan faktor intrapsikhis. Hal ini beraru dalam proses belajar tidak berorientasi pada apa yang terdapat dalam diri siswa (misainya harapan siswa, potensialitas siswa, kemauan siswa, dan sebagainya). Tujuan pendidikan bersifat eksternal, dalam arti ditentukan dan dirumuskan oleh lingkungan, tanpa memperhitungkan faktor internal siswa yang belajar.
Henderson memberikan kritik pada materialisme, dengan mengemukakan bahwa secara filosofi maupun psikologis, mate nalisme tidak memadai, karena tidak mungldn menerangkan bagaimana materi dalam gerak dapat berubah menjadi kesusilaan, nilai-nilai spirtual, aktivitas kreatif dari akal itu sendini “But as philosophy or psi chology, materialisme has proved inadequate. It has seemed impossible to explain the matter in motion can give rise to morale ideals, to spiritual values, to creative activity, to reason itself” (Henderson 1959 240).
Keberatan lain terhadap behavionisme yang dilandasi materialisme adalah karena behaviorisme menerangkan segala sesuatu secara mekanistis. Manusia merupakan mesin reaksi, sehingga pendidikan hanyalah soal mempengaruhi refleks dan perbuatan saja, yaitu perilaku yang hanya dapat diamati dan dapat diukur. Behaviorisme sama sekali tidak memberikan perhatian terhadap penghayatan seseorang tentang nilai-nilai, melainkan bagaimana perbuatan dan keterampilan dalam menampilkan nilai tersebut. Perbuatan dalam melaksa nakan nilai bisa berpura-pura. Jadi, dalam hal ini behaviorisme sama sekali tidak berhubungan dengan keyakinan atau keimanan seseorang, seperti halnya meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuahn Yang Maha Esa.
Power (1982) mengemukakan beberapa implikasi pendidikan positivisme behavionsme yang bersurnber pada filsafat meterialisme, sebagai berikut:
1) Tema
Manusia yang baik dan efisien dahasilkan dengan proses pendidikan terkontrol secara ilmiah dan seksama.
2) Tujuanpendidikan
Perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tangungjawab hidup sosial dan pribadi yang kompleks.
3) Kurikulum
Isi pendidikan mencak pengetahuan yang dapat dipercaya (handal), dan diorganisasi, selalu berhubungan dengan sasaran perilaku.
4) Metode
Semua pelajaran dihasilkan dengan kondisionisasi (SR conditioning), operant conditioning, reinforcement, pelajaran berprogram dan kompetensi.
5) Kedudukan siswa
Tidak ada kebebasan. Perilaku ditentukan oleh kekuatan dari luar. Pelajaran sudah dirancang. Siswa dipersiapkan untuk hidup. Mereka dituntut untuk belajar.
6) Peranan guru
Guru memiliki kekuasaan untuk merancang dan mengontrol proses pendidikan. Guru dapat mengukur kualitas dan karakter hasil belajar siswa.

FILSAFAT PENDIDIKAN PERENIALISME
1. Latar Belakang
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresifi Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosiokultural. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut.
Jalan yang diternpuh oleh kaum perenialis, adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zainan kuno dan abad pertengahan. Peradaban kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa, dan ahad ke abad.
Pandangan-pandangan yang telah menjadi dasar budaya manusia tersebut, telah teruji kemampuan dan kekukuhannya oleh sejarah. Pandangan-pandangan Plato dan Aristoteles mewakili peradaban Yunani Kuno, serta ajaran Thomas Aquina dan abad pertengakan. Kaum perenialis percaya bahwa ajaran-ajaran dan tokoh-tokoh tersebut memiliki kualitas yang dapat dijadikan tuntunan hidup dan kehidupan manusia path abad kedua puluh ini.
Dalam pendidikan, kauni perenialis berpandangan bahwa da lam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membaha yakan, seperti kita rasakan dewasa mi, tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalarn perilaku pendidik.
Mohanimad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialisme, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhaliannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Peremanisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal. Perenialisme tidak melihat jalan yang meyakinkan, selain kembali pada prinsip-prinsip yang telah sedemikian rupa membentuk sikap kebiasaan, bahwa kepribadian manusia yaitu kebudayaan dahulu (Yunani Kuno) dan kebudayaan abad pertengahan.

2. Latar belakisng filsafat
Perealisme bukan merupakan suatu aliran baru dalam filsafat, dalam arti perealisme bukanlah merupakan suatu bangunan pengetahuan yang menyusun filsafat baru, yang berbeda dengan filsafat yang telah ada. Teori atau konsep pendidikan pererialisme di1atarbelakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Kiasik, filsafat Aritoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan flisafat Thomas Aquina yang mencoba mecnadukan antara flisafat Aritoteles dengan ajaran (filsafat) Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).

a. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Bahaya perang dan kejahatan mengancam bangsa Athena. Siapa yang bisa memperoleh kebenaran secara retorik, dialah yang benar. Plato ingin membangun dan membina tata kehidupan dunia yang ideal, di atas tata kebudayaan yang tertib dan sejahtera, menibina cara yang menuju kebajikan.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu telah ada pada di manusia sejak dan asalnya, yang berasal dan realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia idea”, bersumber dan ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenarari, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lakir yang semuariya bersumber dan ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal atau rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang bulat dan utuh. Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusia dapat mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki dan mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.
Esensi realitas, pengetahuan, dan nilai merupakan manifestasi dari hukum universal yang abadi dan sempurna, yaitu ide mutlak yang supernatural. Ketertiban sosial hanya akan mungkin apabila ide tesebut dijadikan standar, atau dijadikan asas normatif dalam segala aspek kehidupan. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemmipin yang sadar akan asas normatif tersebut dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan.
Masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Masyarakat ini lahir apabila setiap warga negara melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan tingkat kedudukan dan keimimpuan pribadinya. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip “Ide mutlak”. ide mutlak inilah yang membimbing manusia untuk menemukan kriteria moral, politik, dan sosial, serta keadilan. Ide mutlak adalah suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transendental. Ide mutlak adalah pencipta alain semesta, yaitu Tuhan.

b. Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM), adalah murid Plato, namun daiam pemikirarmya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemilkirannya disebut filsafat realisme (realisme kiasik). Cara berpikir Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang meriekankan berpikir rasional spekulatif Aristoteles mengarnbil cara berpikir rasional empiris realistis. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari.
Aristoteles hidup pada abad keempat Sebelum Masehi, namun dia dinyatakan sebagai pemikir abad perterigahan. Karya-karya Aristoteles merupakan dasar berpikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiri menyebabkan ia mendapat sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan kebaikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenungan pasif melinkan merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang nienuju kepada manusia ideal., manusia sempurna.
Manusia sebagai hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alain materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam super natural.

c. Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang muncul path waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan oleh St. Agustinus). Menurut Aquna, tidak terdapat pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus terang dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Anstoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dan Tuhan bagaikan air yang mengalir dan sumbemya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori “emanasi “. Thomas Aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu: 1) dunia tidak diadakan dan semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja, demikian menurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dari oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilah ia mempertemukan pandangan filsafat idealisme, realisme, dan ajaran gereja). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara perernalisme dengan neotomisme. Perenialisme adalah sama dengan neotomisme dalam pendidikan.

3. Pendidikan
Perennialisme memandang kebenaran sebagai hal yang konstan, abadi, atau perennial. Tujuan dan pendidikan, menurut pemikiran perenialis adalah memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang pninsip-prinsip atau gagasan-gagasn besar yang tidak berubah. Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakekat manusia pada dasamya tetap tidak berubah selama berabad abad: jadi, gagasan-gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di setiap zaman. Lebih jauh lagi, filsafat perennialis menekankan kemampuan-kemampuan berpikir rasional manusia; filsafat itu merupakan pengolahan intelektual yang membuat manusia menjadi benar-benar manusia dan membedakan mereka dan binatang-binatang lain.
Kurikulurn menunut kaum perennialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi terpelajar secara kuitural” para siswa harus berhadapan dengan bidang-bidang ini (seni dan sarns) yang merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia. Berkenaan dengan bidang kurikulum hanya satu pertanyaan yang harus diajuka Apakab para siswa memperoleh muatan yang merepresentasikan usaha-usaha yang paling tinggi dalam bidang itu? Jadi, seorang guru Bahasa Inggris SMU dapat mengharuskan para siswanya untuk membaca Moby Dick–nya Melville atau sebagian dari drama Shakespeare bukannya sebuab novel dalam daftar terlaris saat ini. Sama halnya dengan para siswa IPA akan mempelajari mengenai tiga hukum gerakan atau tiga hukum termodinamika hukannya membangun suatu model penerbangan ulang balik angkasa luar.
Dua dari pendukung filsafat peremalis adalah Robert Maynard Hutchins. dan Mortirner Adler. Sebagai Rektor the University of Chicago, Hutchins (1963) mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan penelitian terhadap Buku Besar bersejarah (Great Books) dan pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum perennialis Hutchins di dasankan pada tiga asumnsi mengenai pendidikan:
a. Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benan dimana pun juga; pendekkatan kebenanan bersifàt universal dan tak terikat waktu.
b. Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan-gagasn, pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan.
c. Pendidikan harus mensliniulasi para mahasiswa untuk berpikir secara mendalarn mengenth gagasan-gagasan signifikan. Para guru harus menggunakan pertiikiran yang benar dan krilis seperti metoda pokok mereka, dan niereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
Mortiner Adler, bersama-sama dengan Hutchin, melakukan studi terhadap lebih dan 100 buku-buku kiasik yang bersifat abadi, dan Plato sampai Einstein. Dengan pendekatan Buku Besar itu dimak sudkan agar para siswa merdeka dan menjadi pemikir yang kritis. ini merupakan suatu kurikulum yang diperlukan, dan kurikulunt mi rnernfokuskan pada disiplin-disiplin pengetahuan yang abadi bukaninya path peristiwa-peristiwa atau minat-minat siswa saat ini.


Bebeberapa pnnsip pendidikan perenialisme secara umum, yaitu:
a) Walaupun perbedaan lingkungan, namun pada hakikatnya manusia di mana pun dan kapan pun ia berada adalah sama. Robert M. Hutekin sebagai pelopor perenialisme di Amerika Serikat, mengemukakan bahwa manusia pada hakikathya adalah hewan rasional (manusia adalah pandangan Aristoteles). Tujuan pendidikan adalah santa dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan dan kebajikan. Pendidikan harus sama bagi semua orang, di mana pun dan kapan pun ia berada, begitu pula tujuan pendidikan harus sama, yaitu memperbaiki manusia sebagai manusia. Hal di atas dikemukakan oleh Hutekin sebagai berikut: “Man may very from society to society but the function of man, is the same in every age and every society, since it results from his nature as a man. The aims of educational system can exist: it is to improve man as man”. (Kneller, 1971).
b) Rasio merupakan atribut manusia yang paling finggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol seleranya. Apabila anak gagal dalam belajar, guru tidak boleh dcngan cepat meletakan kesalahan pada lingkungan yang tidak rnenyenanigkan, atau pada rangkaian peristiwa psikologis yang tidak menguntungkan. Guru harus mampu mengatasi semua gangguau tersebut, dengan melakukan pendekatan secana intelektual yang santa bagi semua siswa. Tidak ada anak yang diizinkan untuk menentukan pengalanian pendidikarinya yang ia inginkan.
c) Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti, dan abadi Kurikulum diorganisasi dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditujukan untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Anak harus diberi pelajaran yang pasti, yang akan memperkenalkannya dengan keabadian dunia. Anak tidak boleh dipaksa untuk mempelajani pelajaran yang tampaknya penting suatu saat saja. Begitu pula kepada anak jangan memberikan pelajaran yang hanya menarik pada saat-saat tertentu yang khusus. Yang dipentingkan dalam kurikulum adalah mata pelajaran “general education”, yang meliputi bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3 R’s (membaca, menulis, berhitung). Mata-mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari general education.
d) Pendidikan bukan mempakan peniruan dan hidup, melainkan merupakan suatu persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan yang artifisial di mana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya.
e) Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah, flisafat, seni, begitu juga dalam literatur yang berhubungan dengan kehidupan sosial, terutama politik dan ekonomi. Dalam literatur-literatur tersebut manusia sepanjang masa telah melahirkan hasil yang maha besar.
Hutcckins menyusun kurikulurn untuk sekolah menengah dan universitas berpusat pada buku-buku besar seperti di atas. Keuntungan dan mempelajari buku-buku klasik yang besar tersebut adalah siswa belajar apa yang telah terjadi pada masa lampau, dan apa yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar atau pemikir-pemikir terdahulu. Siswa belajar berpikir untuk dirinya, karena dengan berkemampuan berpikir siswa akan niemiliki pedoman untuk mampu mengatasi segala masalah kehidupan yang ia hadapi. Segala masalah dapat dipecahkan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan yang telah dimuliki manusia, serta dengan menggunakan pikiran yang telah didisiplinkan untuk berpikir.

4. Potret Guru Perenialis
Ny. Berstein mengajar Bahasa lnggris di SMU sejak pertengahan tahun 1960-an. Di antara para siswa dan juga para guru, ia memiliki suatu replilasi sebagai orang yang banyak menuntut. Selama pertengahan 1970 – an ia memiliki waktu yang sulit untuk berhubungan dengan siswa yang secara agresif menuntut diajar pelajaran-pelajaran yang “relevan”. Sebagai seorang lulusan universitas top di Timur Amerika dimana ia menerima suatu pendidikan klasik dan liberal, Nyonya Berstein menolak untuk memperlonggar penekanan pada karya-karya besar kesusastraan di kelasnya yang ia rasa perlu diketahui oleh para siswanya, seperti Beowulf, Chaucer, Dickens, dan Shakespeare.
Ny. Berstein yakin bahwa kerja dan usaha keras itu penting jika seseorang ingin memperoleh pendidikan yang baik. Akibatnya, ia memberi siswa kesempatan yang sangat sedikit untuk berbuat, bertindak salah, dan ia tampak tahan dengan keluhan siswa yang dilakukan secara terbuka mengenai beban belajarnya. Ia sangat bersemangat ketika ia berbicara mengenai nilai karya klasik pada para siswa yang sedang bersiap-siap hidup sebagai orang dewasa di abad ke duapuluh satu
0 Responses

Posting Komentar

Silahkan nikmati apa yang kami sajikan, semoga bermanfaat, tinggalkan pesan anda jika ada hal yang anda butuhkan tetang apapun, semoga kami bisa membantu anda semua.